Sabtu, 15 November 2014

Minyak Mengalir Sepanjang Masa

Minyak diperebutkan sejak kemasyhuran Kerajaan Peureulak, Pasai, Sriwijaya, Majapahit, revolusi industri, sampai kini.
Lidah api raksasa itu menjulur-julur dari cerobong besi yang tertancap sekitar seribu meter dari dalam perut bumi Bukit Takteh, Peureulak, Aceh Timur. Peristiwa alam yang telah direkayasa para ilmuwan dan teknisi pertambangan itu bukan terjadi di lapangan luas berpagar pembatas dengan pengamanan kokoh, melainkan dari sela-sela hamparan puluhan ribuan hektare perkebunan kelapa sawit.
Pemandangan seperti ini bukan hanya di Bukit Takteh, tetapi juga kerap dijumpai di tempat-tempat lain di Aceh Timur. Bahkan di beberapa lokasi tiba-tiba mengeluarkan minyak mentah barang beberapa tangki.  Maklumlah, sejak ditinggal perusahaan pertambangan minyak PT Asamera akibat konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia, sumur-sumur minyak dan gas yang jumlahnya sampai ratusan titik itu, terbengkalai.
Alam dan teknologi yang terbengkalai itu dimanfaatkan pengusaha perkebunan untuk menanam pohon kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan margarin. Pipa-pipa besi baja yang berfungsi sebagai cashing dicopot orang tak dikenal, barangnya tak ketahuan rimbanya. Entah siapa pelakunya. Pihak berwenang bukan  tidak mau mengusut, namun ada yang lebih bernilai dari sekedar saling tuding: perdamaian dan keselamatan.
Di alam damai itulah, terutama paska gempa 8,9 pada Skala Richter dan gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 serta penandatanganan perdamaian di Helsinki, Finlandia, 2006, konflik di Aceh mereda. Pembangunan kembali bergairah.
Minyak dan gas Aceh Timur yang sempat terbengkalai, kembali diperebutkan berbagai perusahaan pertambangan nasional dan multinasional. Belakangan perusahaan minyak dan gas PT Medco E&P Indonesia dan PT Pasific Oil menjadi pemenangnya. Kedua perusahaan ini lantas menghidupkan kembali sumur-sumur minyak terbengkalai itu.
Minyak di Aceh Timur memang layak diperebutkan dan dihidupkan para investor, karena memiliki kandungan yang cukup besar. Kini, potensi energi di Negeri Peureulak itu diperkirakan mengandung cadangan minyak sebesar 13.402 juta barel, sedangkan yang sudah dieksplorasi baru 2.377 juta barel. Adapun potensi gas buminya diperkirakan mencapai 17.252 BSCF, dengan 15.110 yang telah dieksplorasi, dan 2.415 BSCH yang dianggap potensial.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Timur, Irham, produksi minyak bumi yang dihasilkan di Kecamatan Pante Bidari sebesar 724.000,53 barel. Sedangkan minyak bumi dan gas terdapat di sepuluh kecamatan. Selain di Pante Bidari, juga di Birem Bayeun, Sungai Raya, Peureulak, Nurussalam, Indra Makmur, dan Julok.
Rupaya tambang minyak di Aceh Timur memiliki sejarah panjang. Menurut H.M. Zainuddin dalam bukunya, Tarich Atjeh dan Nusantara (1961), minyak pertama kali ditemukan di Peureulak pada abad ke-14. Pada masanya, minyak tanah digunakan untuk menyalakan pelita, obat-obatan, sampai alat perang atau menyerang musuh.
Ketika Peureulak dan Samudera Pasai hendak dikuasai Kerajaan Majapahit pada 1350, pasukan Peureulak dan Samudera Pasai memanfaatkan minyak tanah sebagai amunisi berperang. “Minyak tanah digunakan untuk membakar kapal atau perahu perang musuh,” tulis Zainuddin.
Awalnya ekspedisi Majapahit menyerang Samudera Pasai, namun serangan melalui laut itu digagalkan tentara Samudera Pasai  yang kuat sampai di perbatasan Peureulak. Pada serangan kedua, Majapahit menggunakan jalur laut dan darat. Lagi-lagi serangan laut dipatahkan Samudera Pasai di Kuala Jambo Air dan Lhokseumawe.
Adapun pasukan Majapahit yang menggunakan jalur darat dipukul mundur diantara Peureulak-Peudawa, kemudian mengundurkan diri ke laut dan seberang kuala Peuerulak. Pihak angkatan perang Majapahit dilaporkan mengalami banyak kerugian.
“Sebab kapal-kapal dalam sungai dan kuala diserang dengan rakit bambu yang diisi minyak tanah dibakar,” ujar Zainuddin. Rakit-rakit bambu yang telah berkobar-kobar itu dihanyutkan, sehingga membakar kapal-kapal Majapahit yang tengah berlabuh di kuala dan sungai Peureulak.
Tatkala ilmu pengetahuan terus berkembang dan dunia dilanda revolusi industri pada abad ke-18, bangsa-bangsa Eropa saling berlomba mencari bahan bakar fosil untuk menggerakkan mesin-mesin.
Sebagai salah satu daerah penghasil minyak tanah, Peureulak pun menjadi terkenal, incaran sekaligus perebutan banyak penguasa dan perusahaan asing. Bahkan pemerintah Belanda berupaya menjajah tanah Aceh dengan terlebih dahulu merebut tambang minyak Peureulak.
Ketika Belanda yang dipimpin Kaptain Colijn mendarat di Peureulak pada 1870-an, dia telah memiliki bekal informasi bahwa di Rantau-Panjang, Peureulak, terdapat sumur minyak tanah. Ketika itu tersebar kabar orang-orang kampung menimba minyak mentah menggunakan timba upih pinang.
Minyak tersebut lantas dimasukkan ke dalam bambu (pacok). Di ujung bambu yang telah terisi minyak itu lantas disumbat menggunakan sabut kelapa atau kain, untuk selanjutnya sumbat yang basah oleh minyak tersebut disulut mengguakan api, jadilah pelita atau obor.
Penguasaan atas Peureulak membuat Colijn membawa keuntungan besar bagi pemerintah Belanda dan dirinya. Ternyata selain ia membuat laporan kepada pemerintah, dia juga menjual kabar adanya kandungan minyak di Peureulak kepada perusahaan (maatschappy) minyak tanah.
Kerja Colijn tidak sia-sia. Atas jasanya pada 1897 sebuah perusahaan minyak Belanda, Holland Perlak Petroleum Maatschappy, meminta konsesi eksploitasi tambang minyak di Alur Mas (Alue Meuih).
Kemudian pada 1908 perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Maatchappy (BPM) juga membuka pengeboran minyak di Rantau Panjang, di seberang sungai Alur Mas yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Alur Mas. Semua minyak tanah itu dialirkan menggunakan pipa yang panjangnya mencapai 128 kilometer ke Pangkalan Brandan.
Di sana, minyak-minyak diolah dan diekspor ke luar negeri. Memang, pada awalnya perusahaan minyak tersebut akan membuat pabrik pengolahan minyak di Rantau Panjang Bayeun, namun karena uleebalang negeri Peureulak, Teuku Chi Muda Peusangan Abu Bakar tidak mau bertanggungjawab, akhirnya minyak itu dialirkan ke Pangkalan Brandan.
Sejarah mencatat, tambang minyak Peureulak paling banyak menghasilkan minyak tanah. “Pada masa itu belum ada sumur-sumur minyak di tempat lain, hanya di Peureulak dan Langkat,” ujar Zainuddin. Barulah pada 1928 ditemukan lagi sumur minyak tanah di Rantau Kuala Simpang dan di Cunda, Lkoseumawe.

Sumber : http://donijulianto.blogspot.com/
Oleh : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar