Rabu, 10 Desember 2014

RSUD IDI Menjadi RSUD Dr. Zubir Mahmud

DIABADIKAN – Hj Nahariah Hara dengan bingkai foto suaminya dr Zubir Mahmud diabadikan bersama Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Timur di sela peresmian dan penapalan nama RSUD Idi menjadi RSUD Dr Zubir Mahmud di Idi, Rabu (10/12).DIABADIKAN – Hj Nahariah Hara dengan bingkai foto suaminya dr Zubir Mahmud diabadikan bersama Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Timur di sela peresmian dan penapalan nama RSUD Idi menjadi RSUD Dr Zubir Mahmud di Idi, Rabu (10/12).

Idi Rayeuk-andalas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Idi kini resmi menjadi RSUD Dr Zubir Mahmud Kabupaten Aceh Timur. Peresmian penapalan salah satu RS di Aceh itu dilakukan Gubernur Aceh dr H Zaini Abdullah didampingi Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi dan Kajati Aceh Tarmizi SH MH, Rabu (10/12) pagi.
Dalam sambutannya, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menjelaskan, perubahan nama RSUD Idi menjadi RSUD Dr Zubir Mahmud merupakan langkah yang sangat tepat. Mengingat betapa besarnya perjuangan dan jasa almarhum dr Zubir Mahmud dalam memperjuangkan keadilan untuk masyarakat Aceh, termasuk hak dalam memperoleh kesehatan.
“Bagi masyarakat Aceh Timur, saya yakin dr Zubir Mahmud bukan nama yang asing. Karena beliau adalah salah seorang tokoh perjuangan Aceh yag syahid saat Aceh dilanda konflik berkepanjangan dan beliau juga berasal dari keluarga terhormat yang ayahnya pemuka agama di Kecamatan Ranto Peureulak,” ujar Zaini Abdullah seraya meminta, para tenaga medis di Aceh Timur khususnya untuk meneladani sifat yang dimiliki dr Zubir Mahmud dalam memberikan pelayanan kesehatan penuh santun dan senyum.
Bupati Aceh Timur Hasballah HM Thaib dalam sambutan sebelumnya mengatakan, perubahan nama RSUD Idi menjadi RSUD Dr Zubir Mahmud berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Timur Nomor 6 Tahun 2014.
“Semangat melayani yang diberikan Dr Zubir Mahmud inilah yang harus diteladani guna membangkit pelayanan kesehatan yang maksimal sesuai dengan harapan masyarakat,” ujar Bupati seraya meminta Pemerintah Aceh memperioritaskan APBA ke Aceh Timur khususnya bidang kesehatan. (MAD)

Rabu, 03 Desember 2014

Anggota DPRA: Bekali Para Penambang Minyak di Ranto Peureulak

LANGSA - Dua anggota DPRA, Bardan Sahidi dan Iskandar Usman Al-Farlaky, berharap Pemerintah Aceh dan Aceh Timur memberdayakan ribuan penambang yang mengelola sumur minyak tanah secara tradisional di kawasan tersebut, sehingga minyak yang mereka hasilkan bermutu dan aman digunakan.
Selain itu, Pertamina sebagai penyalur resmi minyak melalui agennya, yakni SPBU di berbagai daerah, hendaknya memperketat pengawasan karena banyak SPBU dan pedagang eceran bermain kotor dengan mengisikan BBM ke drum pada malam hari. Aneka minyak dari SPBU itu pun kemudian berpeluang dioplos dan dijual lagi.
Iskandar Usman menyatakan, lebih dari 2.000 jiwa warga di Aceh Timur yang menggantungkan hidupnya dari sumur minyak tersebut. “Pemerintah harus memberdayakan penambang tersebut agar menghasilkan minyak yang bermutu dengan cara yang tepat, sehingga aman bagi mereka sendiri maupun masyarakat luas,” kata politisi dari Partai Aceh ini merespons liputan eksklusif Serambi Indonesia berjudul “Licinnya Pengoplos Mitan” yang dipublikasi Selasa (2/12). Hal yang sama dilakukan Bardan Sahidi, politisi PKS di DPRA yang lebih banyak membeberkan permainan kotor para pebisnis minyak di wilayah tengah dan tenggara Aceh.
Sebagaimana dilaporkan Serambi kemarin, pengelolaan ratusan sumur minyak di Aceh Timur telah mendatangkan sejumlah petaka karena ketidakpedulian pemerintah dan warga yang menambang minyak itu secara tradisional. Pertamina bahkan tidak berani menjamin bahwa minyak yang diolah secara tradisional itu benar-benar aman dipakai untuk beragam keperluan, baik minyak tanah, bensin, maupun solar.
Selain itu, sudah tak terhitung pekerja di lokasi sumur yang menjadi korban kebakaran tersulutnya api dari minyak oplosan.
Secara teknis, Iskandar Usman meminta pemerintah memfasilitasi mereka dengan membentuk koperasi. “Kita minta pemerintah dan dinas terkait menyelamatkan para penambang, dengan memberi pemahaman kepada mereka, dan memfasilitasi mereka membuat wadah baik itu dalam bentuk koperasi maupun asosiasi penambangan minyak tradisional,” kata pria asal Aceh Timur ini.
Di sisi lain, pihaknya sangat tidak setuju jika pemerintah menutup sumur minyak yang dieksploitasi warga tersebut. Apalagi sebagian aktivitas tersebut sudah berlangsung turun-temurun.
Dia jelaskan, dalam setahun terakhir masyarakat yang selama ini tidak memiliki penghasilan tetap ikut mengadu nasib di sektor pertambangan tradisional tersebut. Yang harus dilakukan pemerintah adalah pengawasan dan pemberdayaan mereka.  
Secara terpisah, Keuchik Gampong Pertamina, Zulkifli kepada Serambi mengatakan, aktivitas penambangan minyak di lokasi itu saat ini marak terjadi. Diperkirakan ada ratusan titik sumur minyak yang digarap para panambang. “Malah ada yang menambang beberapa meter dari jendela rumah warga. Soal keamanan tak lagi dihiraukan,” kata Zulkifli sembari menambahkan bahwa sudah saatnya pemerintah bertindak untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman petaka yang lebih buruk.
“Keberadaan sumur minyak ini juga potensi besar bagi roda ekonomi masyarakat, karena itu sudah saatnya pemerintah membina mereka,” ujar Zulkifli lagi.
Bardan Sahidi mengomentari, di wilayah tengah-tenggara Aceh, kondisinya lebih parah lagi. Pertamina sebagai penyalur resmi melalui agennya, yakni pemilik SPBU di berbagai daerah, kebanyakan bermain kotor dengan pedagang eceran, yakni dengan mengisikan BBM ke drum pada malam hari. Berbagai minyak dari SPBU itu pun kemudian berpeluang dioplos dan dijual lagi.
Menurutnya, penyaluran minyak dengan legalisasi hinger ordonantie (HO) mejadi tameng dalam bisnis haram ini. “Di sisi lain, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemrintah pun, omong kosong belaka,” kata Bardan.
Di mata politisi PKS ini, bukan hanya Pertamina, tapi negara pun kalah melawan mafia minyak yang sudah menggurita. “Korbannya justru rakyat jelata, termasuk mereka yang terbakar akibat minyak oplosan itu,” kata Bardan yang sekaligus menginformasikan bahwa pada tingkat pengecer, premium di Gayo dijual mencapai Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per liter setelah kenaikan harga dua pekan lalu.(sar/yuh/sak/dik)
sumber : serambinews.com

Desa Pertamina Ranto Peureulak



Mesjid Tajul Ula Ranto Peureulak


Kota Pos XI Ranto Peureulak






Ranto Kota Bawah



Ranto Under Construction



Jumat, 28 November 2014

Tabrakan Maut diduga akibat berbuat meusum dalam mobil di Alue Kumba ,Suangai Raya Aceh Timur








Tiga korban tewas saat terjadinya tabrakan antara mobil pikap Suzuki Cary dan Toyota Rush, di Jalinsum, Desa Alue Kumba, Kecamatan Rantau Seulamat, Aceh Timur, Kamis (27/11) sore. Korban di evaluasi di RSUD Langsa, sebelum diserahkan ke pihak keluarganya. SERAMBI/ZUBIR

LANGSA - Tabrakan maut terjadi antara pikap Suzuki Carry dan Toyota Rush di Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum), Desa Alue Kumba, Kecamatan Rantau Seulamat, Aceh Timur, Kamis (27/11) sore. Insiden itu menyebabkan tiga korban meninggal di tempat, seorang lsgi selamat.

Informasi yang dihimpun Serambi, kejadian itu berlangsung sekitar pukul 15.00 WIB. Toyota Rush warna putih BK 1484 PI yang ditumpangi tiga orang, dua di antaranya meninggal akibat lakalantas itu, yakni Praka Hariadi (30), anggota Kompi C Yonif Raider/111 Paya Bakong, Aceh Utara, dan Fitri (20), warga Gampong Aceh, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur.

Seorang lagi selamat, yakni Pratu Mediriansyah (20), anggota TNI Kompi E Raider/111 Paya Bakong, Aceh Utara. Sementara pengemudi Suzuki Carry BL 8124 DE, Kafrawi (54), berprofesi PNS, tewas. Alhamrum tercatat sebagai warga Paya Meuligo, Kecamatan Peureulak Kota, Aceh Timur.

Saksi mata menyebutkan, mobil Toyota Rush melaju dari arah Banda Aceh ke Medan, sebaliknya pikap Suzuki Carry dari arah Langsa ke Banda Aceh. Rush yang dikemudikan Praka Hariadi diduga melaju kencang sehingga hilang kendali dan bertabrakan dengan mobil carry di jalan lurus tersebut.

Akibat tabrakan itu, mobil Rush ringsek bahkan terlepas bagian atapnya, sedangkan pikap Suzuki Carry hancur bagian depannya. Kejadian itu sempat memacetkan Jalinsum beberapa menit, apalagi banyak warga berkerumun di lokasi kejadian.

Korban kemudian dievakuasi ke RSUD Langsa. Setelah divisum, jenazah korban diserahkan kepada keluarga masing-masing.  Kapolres Langsa, AKBP H Hariadi SH SIK, melalui Wakapolres Kompol Hadi Saeful Rahman SIK yang ditanyai Serambi tadi malam mengakui adanya lakalantas tersebut, sehingga tiga korban tewas.

Pihak kepolisian telah melakukan oleh tempat kejadian untuk mencari tahu penyebab terjadinya kecelakaan antara pikap carry dan mobil pribadi Toyota Rush tersebut. (zb)




Sabtu, 15 November 2014

Minyak Mengalir Sepanjang Masa

Minyak diperebutkan sejak kemasyhuran Kerajaan Peureulak, Pasai, Sriwijaya, Majapahit, revolusi industri, sampai kini.
Lidah api raksasa itu menjulur-julur dari cerobong besi yang tertancap sekitar seribu meter dari dalam perut bumi Bukit Takteh, Peureulak, Aceh Timur. Peristiwa alam yang telah direkayasa para ilmuwan dan teknisi pertambangan itu bukan terjadi di lapangan luas berpagar pembatas dengan pengamanan kokoh, melainkan dari sela-sela hamparan puluhan ribuan hektare perkebunan kelapa sawit.
Pemandangan seperti ini bukan hanya di Bukit Takteh, tetapi juga kerap dijumpai di tempat-tempat lain di Aceh Timur. Bahkan di beberapa lokasi tiba-tiba mengeluarkan minyak mentah barang beberapa tangki.  Maklumlah, sejak ditinggal perusahaan pertambangan minyak PT Asamera akibat konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia, sumur-sumur minyak dan gas yang jumlahnya sampai ratusan titik itu, terbengkalai.
Alam dan teknologi yang terbengkalai itu dimanfaatkan pengusaha perkebunan untuk menanam pohon kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan margarin. Pipa-pipa besi baja yang berfungsi sebagai cashing dicopot orang tak dikenal, barangnya tak ketahuan rimbanya. Entah siapa pelakunya. Pihak berwenang bukan  tidak mau mengusut, namun ada yang lebih bernilai dari sekedar saling tuding: perdamaian dan keselamatan.
Di alam damai itulah, terutama paska gempa 8,9 pada Skala Richter dan gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 serta penandatanganan perdamaian di Helsinki, Finlandia, 2006, konflik di Aceh mereda. Pembangunan kembali bergairah.
Minyak dan gas Aceh Timur yang sempat terbengkalai, kembali diperebutkan berbagai perusahaan pertambangan nasional dan multinasional. Belakangan perusahaan minyak dan gas PT Medco E&P Indonesia dan PT Pasific Oil menjadi pemenangnya. Kedua perusahaan ini lantas menghidupkan kembali sumur-sumur minyak terbengkalai itu.
Minyak di Aceh Timur memang layak diperebutkan dan dihidupkan para investor, karena memiliki kandungan yang cukup besar. Kini, potensi energi di Negeri Peureulak itu diperkirakan mengandung cadangan minyak sebesar 13.402 juta barel, sedangkan yang sudah dieksplorasi baru 2.377 juta barel. Adapun potensi gas buminya diperkirakan mencapai 17.252 BSCF, dengan 15.110 yang telah dieksplorasi, dan 2.415 BSCH yang dianggap potensial.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Timur, Irham, produksi minyak bumi yang dihasilkan di Kecamatan Pante Bidari sebesar 724.000,53 barel. Sedangkan minyak bumi dan gas terdapat di sepuluh kecamatan. Selain di Pante Bidari, juga di Birem Bayeun, Sungai Raya, Peureulak, Nurussalam, Indra Makmur, dan Julok.
Rupaya tambang minyak di Aceh Timur memiliki sejarah panjang. Menurut H.M. Zainuddin dalam bukunya, Tarich Atjeh dan Nusantara (1961), minyak pertama kali ditemukan di Peureulak pada abad ke-14. Pada masanya, minyak tanah digunakan untuk menyalakan pelita, obat-obatan, sampai alat perang atau menyerang musuh.
Ketika Peureulak dan Samudera Pasai hendak dikuasai Kerajaan Majapahit pada 1350, pasukan Peureulak dan Samudera Pasai memanfaatkan minyak tanah sebagai amunisi berperang. “Minyak tanah digunakan untuk membakar kapal atau perahu perang musuh,” tulis Zainuddin.
Awalnya ekspedisi Majapahit menyerang Samudera Pasai, namun serangan melalui laut itu digagalkan tentara Samudera Pasai  yang kuat sampai di perbatasan Peureulak. Pada serangan kedua, Majapahit menggunakan jalur laut dan darat. Lagi-lagi serangan laut dipatahkan Samudera Pasai di Kuala Jambo Air dan Lhokseumawe.
Adapun pasukan Majapahit yang menggunakan jalur darat dipukul mundur diantara Peureulak-Peudawa, kemudian mengundurkan diri ke laut dan seberang kuala Peuerulak. Pihak angkatan perang Majapahit dilaporkan mengalami banyak kerugian.
“Sebab kapal-kapal dalam sungai dan kuala diserang dengan rakit bambu yang diisi minyak tanah dibakar,” ujar Zainuddin. Rakit-rakit bambu yang telah berkobar-kobar itu dihanyutkan, sehingga membakar kapal-kapal Majapahit yang tengah berlabuh di kuala dan sungai Peureulak.
Tatkala ilmu pengetahuan terus berkembang dan dunia dilanda revolusi industri pada abad ke-18, bangsa-bangsa Eropa saling berlomba mencari bahan bakar fosil untuk menggerakkan mesin-mesin.
Sebagai salah satu daerah penghasil minyak tanah, Peureulak pun menjadi terkenal, incaran sekaligus perebutan banyak penguasa dan perusahaan asing. Bahkan pemerintah Belanda berupaya menjajah tanah Aceh dengan terlebih dahulu merebut tambang minyak Peureulak.
Ketika Belanda yang dipimpin Kaptain Colijn mendarat di Peureulak pada 1870-an, dia telah memiliki bekal informasi bahwa di Rantau-Panjang, Peureulak, terdapat sumur minyak tanah. Ketika itu tersebar kabar orang-orang kampung menimba minyak mentah menggunakan timba upih pinang.
Minyak tersebut lantas dimasukkan ke dalam bambu (pacok). Di ujung bambu yang telah terisi minyak itu lantas disumbat menggunakan sabut kelapa atau kain, untuk selanjutnya sumbat yang basah oleh minyak tersebut disulut mengguakan api, jadilah pelita atau obor.
Penguasaan atas Peureulak membuat Colijn membawa keuntungan besar bagi pemerintah Belanda dan dirinya. Ternyata selain ia membuat laporan kepada pemerintah, dia juga menjual kabar adanya kandungan minyak di Peureulak kepada perusahaan (maatschappy) minyak tanah.
Kerja Colijn tidak sia-sia. Atas jasanya pada 1897 sebuah perusahaan minyak Belanda, Holland Perlak Petroleum Maatschappy, meminta konsesi eksploitasi tambang minyak di Alur Mas (Alue Meuih).
Kemudian pada 1908 perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Maatchappy (BPM) juga membuka pengeboran minyak di Rantau Panjang, di seberang sungai Alur Mas yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Alur Mas. Semua minyak tanah itu dialirkan menggunakan pipa yang panjangnya mencapai 128 kilometer ke Pangkalan Brandan.
Di sana, minyak-minyak diolah dan diekspor ke luar negeri. Memang, pada awalnya perusahaan minyak tersebut akan membuat pabrik pengolahan minyak di Rantau Panjang Bayeun, namun karena uleebalang negeri Peureulak, Teuku Chi Muda Peusangan Abu Bakar tidak mau bertanggungjawab, akhirnya minyak itu dialirkan ke Pangkalan Brandan.
Sejarah mencatat, tambang minyak Peureulak paling banyak menghasilkan minyak tanah. “Pada masa itu belum ada sumur-sumur minyak di tempat lain, hanya di Peureulak dan Langkat,” ujar Zainuddin. Barulah pada 1928 ditemukan lagi sumur minyak tanah di Rantau Kuala Simpang dan di Cunda, Lkoseumawe.

Sumber : http://donijulianto.blogspot.com/
Oleh :